10.11.2010

Lanskap Peredaran Pangan Laut

Terlalu banyaknya penangkapan ikan di laut menjadi masalah perikanan saat ini.

Para nelayan mengeruk 77,9 juta metrik ton hidupan liar dari laut setiap tahun. Hal ini dapat mengantarkan pada kepunahan perikanan di seluruh penjuru dunia dalam waktu dekat.

Oleh PAUL GREENBERG
Foto oleh JONATHAN CLAY 

Terlalu banyaknya penangkapan ikan di laut menjadi masalah perikanan saat ini. Dengan menggunakan perahu-perahu kecil hingga kapal-kapal pukat raksasa berskala industri, para nelayan mengeruk 77,9 juta metrik ton hidupan liar dari laut setiap tahun.
Menjelang matahari terbit, sebuah pertemuan pangan laut digelar di dekat Pelabuhan Honolulu. Dihadiri sekitar dua lusin pembeli yang memasuki gudang United Fishing Agency dengan mengenakan parka (jaket tebal) musim dingin di atas baju Hawaii mereka untuk menghalau udara dingin dari pendingin ruangan. Mereka tampak sibuk
memencet telepon selular di genggaman, menghubungi klien mereka di Tokyo, Los Angeles, Honolulu – dimana pun ikan-ikan mahal dikonsumsi – dan menunggu.
Tak lama kemudian pintu-pintu muatan besar gudang yang menghadap ke laut bergeser terbuka, dan sebuah parade jenazah penghuni laut di atas palet kayu pun dimulai. Ikan-ikan tuna dengan lingkaran tubuh seukuran roda gerobak. Ikan-ikan todak dan pedang, paruh-paruh tajamnya telah dipotong, berjejer seperti tumpukan batang-batang besi kelabu kusam. Ikan-ikan opah (Lampris guttatus) berbibir tebal dengan mata sebesar keping bola hoki dan kulit bagian tepi berwarna emas. Semua tersusun dan terpajang rapi di aula.


Para juru lelang memotong bagian utama ikan-ikan ini untuk dijadikan sampel dan meletakkan lapisan-lapisan dagingnya di atas perut-perut putih tak bernyawa. Para pembeli menusukkan jari mereka ke sampel, mencoba menebak kualitasnya berdasarkan warna, kejernihan, tekstur, dan kandungan lemaknya. Seiring masuknya
instruksi di telepon selular, tawaran-tawaran disampaikan kepada juru lelang menggunakan isyarat berupa gerakan tangan misterius. Secarik kertas dengan tulisan berantakan seperti cakar ayam ditempelkan tak beraturan di panggul seekor ikan saat penjualan disepakati. Satu per satu ikan dilelang dan dijual kepada penawar tertinggi.
Dengan cara ini, kekayaan maritim/laut bagian utara tengah Samudera Pasifik terbagi di antara sejumlah pembeli terkaya di dunia.
Setiap tahun, lebih dari 77,9 juta metrik ton ikan liar dan kerang-kerangan ditangkap di laut – sekitar tiga kali berat setiap pria, perempuan dan anak-anak di AS. Manajer perikanan menyebut jumlah luar biasa penangkapan massal hidupan liar ini sebagai tangkapan dunia, dan sejumlah orang tetap berpendapat bahwa jumlah tangkapan ini
relatif stabil selama satu dekade terakhir. Namun, sebuah penelitian yang masih terus dilakukan oleh Daniel Pauly, ilmuwan perikanan di University of British Columbia, bersama Enric Sala, anggota National Geographic, menyatakan bahwa tangkapan laut di seluruh dunia, tidak stabil maupun terbagi adil di antara negara-negara yang ada di dunia. Dalam penelitian yang dinamakan Lanskap Peredaran Pangan Laut dan disponsori oleh Pew Charitable Trust serta National Geographic, para peneliti memfokuskan pada apa yang mereka yakini harus dilakukan untuk menyelamatkan lautan.
Mereka berharap penelitian ini akan dapat mengoreksi pemahaman umum yang tidak benar. Masyarakat membayangkan dampak yang ditimbulkan sebuah negara terhadap keadaan laut berdasarkan jumlah total ikan yang ditangkap. Namun hal ini ternyata menghasilkan gambaran yang menyesatkan mengenai dampak yang sebenarnya, atau tentang peredaran pangan laut, terhadap kehidupan laut itu sendiri. "Masalahnya adalah, setiap ikan berbeda," kata Pauly. "Satu kilogram ikan tuna merepresentasikan sekitar seratus kali jejak satu kilogram ikan sardin."
Penyebab perbedaan signifikan ini adalah peran ikan tuna sebagai predator yang berada di puncak teratas rantai makanan. Ikan tuna berukuran terbesar mengkonsumsi ikan-ikan lain dalam jumlah luar biasa besar, termasuk predator-predator tingkat menengah seperi ikan kembung, yang pada gilirannya memangsa ikan lainnya seperti
ikan bilis yang mengkonsumsi kopepoda mikroskopik. Seekor tuna berukuran besar harus mengkonsumsi makanan sejumlah berat tubuhnya setiap sepuluh hari agar dapat tetap bertahan hidup, jadi seekor tuna seberat 450 kilogram kemungkinan harus melahap hingga 15.000 ikan berukuran lebih kecil dalam setahun. Rantai makanan rantai makanan seperti ini dapat ditemukan di seluruh ekosistem laut di dunia, masing-masing dengan predator puncak-nya sendiri. Ikan besar apapun – ikan pedang Pasifik, ikan hiu mako Atlantik, ikan salmon Alaska, ikan kakap Cili – sepertinya bergantung pada sejumlah tingkatan pada rantai makanan.
Untuk mendapatkan sebuah gambaran akurat tentang bagaimana negara-negara yang berbeda memanfaatkan sumber daya laut, para peneliti Lanskap Peredaran Pangan Laut membutuhkan cara untuk membandingkan semua jenis ikan yang ditangkap.
Mereka memutuskan untuk melakukannya dengan mengukur jumlah "produksi primer" – organisme mikroskopik yang berada di dasar jaring makanan laut – yang dibutuhkan untuk menciptakan satu kilogram jenis ikan tertentu. Mereka menemukan bahwa satu kilogram ikan tuna sirip biru, misalnya, kemungkinan membutuhkan
seribu kilogram atau lebih produksi primer.
Dalam menilai dampak nyata yang ditimbulkan oleh negara terhadap laut, tim Lanskap Peredaran Pangan Laut bukan hanya harus melihat apa saja yang ditangkap oleh negara tertentu, tetapi juga apa yang dimakan oleh penduduknya. "Sebuah negara dapat memperoleh produksi primer dengan cara menangkapnya, atau melalui
perdagangan," Pauly berkata. "Negara-negara kaya memiliki keniscayaan untuk memperoleh produksi primer yang penting."
Negara-negara berduit memiliki kecenderungan membeli ikan dalam jumlah besar, yang kebanyakan merupakan predator-predator puncak berukuran besar seperti ikan tuna. Jepang menangkap kurang dari lima juta metrik ton ikan per tahun, penurunan sebesar 29 persen dari 1996 sampai 2006. Namun, Jepang mengkonsumsi sembilan
juta metrik ton ikan per tahunnya, sekitar 582 juta metrik ton dalam hitungan produksi primer. Walau rata-rata konsumen di China umumnya mengkonsumsi ikan dalam jumlah lebih kecil daripada konsumen Jepang, populasi China yang sangat besar menjadikannya sebagai negara dengan lanskap pangan laut terbesar di dunia, 694
metrik ton produksi primer. AS, yang memiliki populasi besar dan kebiasaan mengkonsumsi ikan-ikan dalam posisi teratas di rantai makanan, berada di urutan ketiga : 348,5 juta metrik ton produksi primer. Dan besaran lanskap pangan laut dari setiap negara-negara ini terus bertumbuh. Yang diperdebatkan Pauly dan menjadi sorotan penelitian ini adalah bahwa kuantitas konsumsi ini tidak hanya luar biasa besar tetapi juga secara fundamental tak lagi dapat dipenuhi.
Seberapa tepatnya ketidakmampuan itu dapat dilihat dalam analisa global perdagangan pangan laut yang disusun oleh Wilf Swartz, seorang ahli ekonomi yang bekerja di Lanskap Peredaran Pangan Laut. Sebagaimana diperlihatkan oleh peta-peta di artikel ini, konsumsi produksi primer laut oleh manusia berubah secara dramatis
dari 1950-an hingga awal 2000-an. Pada 1950-an luas lautan yang diambil ikannya untuk memenuhi kebutuhan manusia jauh lebih kecil. Namun, seiring meningkatnya permintaan negara-negara kaya akan predator-predator puncak, kapasitas produksi primer zona ekonomi eksklusif mereka, yang membentang sejauh 370 kilometer laut
dari pantai, telah terlampaui. Sebagai akibatnya, semakin banyak penangkapan ikan yang terjadi di laut bebas untuk menjaga agar jumlah pasokan tetap konstan atau bertambah.
Wilayah-wilayah di luar zona ini dalam bahasa kelautan dikenal sebagai laut bebas. Teritori sangat luas ini, yang mana wilayah tak bertuan terakhir di Bumi, secara teknis bukan milik siapapun. Tangkapan dari wilayah-wilayah laut bebas mengalami peningkatan hingga mendekati sepuluh kali jumlah tangkapan pada 1950, dari 1,6 juta
metrik ton menjadi sekitar 13 juta metrik ton. Sebagian besar tangkapan itu adalah ikan tuna yang bernilai tinggi dan berada di puncak rantai makanan dengan jejak pangan lautnya yang sangat besar.
Negara-negara lebih makmur yang membeli sebagian besar produk-produk perikanan ini pada dasarnya dapat dikatakan telah melakukan privatisasi. Negara-negara yang lebih miskin jelas tidak mampu untuk menawar spesies-spesies bernilai tinggi.
Penduduknya juga berpotensi mengalami kerugian besar jika pemerintahnya melakukan perjanjian perdagangan atau penangkapan ikan dengan negara-negara yang lebih kaya. Dalam perjanjian-perjanjian seperti ini, ikan-ikan tangkapan lokal dijual di luar negeri dan terlarang bagi penduduk setempat – yang sejatinya memiliki kebutuhan terbesar untuk mengkonsumsinya dan hak terbesar atas kepemilikannya. 
Walaupun pasar-pasar swalayan di negara-negara maju seperti AS dan Jepang masih dibanjiri daging ikan, Lanskap Peredaran Pangan Laut menyatakan bahwa keberlimpahan ini hanyalah ilusi besar berdasarkan dua fenomena yang mengganggu : semakin luas bagian wilayah laut bebas yang berubah dari teritori tak terjamah
menjadi ladang penangkapan ikan yang dieksploitasi dan dimonopoli; serta kekayaan pangan laut negara-negara miskin yang dikeruk oleh penawar tertinggi.
Permintaan manusia akan pangan laut kini mendorong armada kapal penangkap ikan untuk memasuki setiap perairan kaya ikan yang belum terjamah. Tidak ada lagi perairan baru yang tersisa untuk dieksploitasi. Namun ini pun belum cukup.
Peningkatan kapasitas penangkapan ikan menimbulkan ancaman habisnya pasokan pangan laut di seluruh perairan kaya ikan, baik lama maupun baru. Sebuah laporan yang dibuat Bank Dunia dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB baru-baru ini menyimpulkan bahwa semua lautan tidak memiliki cukup ikan tersisa untuk
mengimbangi jumlah ikan yang dibunuh saat ini. Sesungguhnya, laporan ini bahkan menyatakan bahwa walau jumlah kapal penangkap ikan, kail dan jala hanya setengah dari yang ada saat ini, jumlah ikan yang kita tangkap tetap terlalu banyak.
Dengan menggunakan data yang sama, sejumlah ilmuwan memiliki pandangan berbeda dengan Daniel Pauly. Ray Hilborn, seorang ilmuwan perikanan di University of Washington, berpendapat bahwa situasi dan kondisinya tidaklah semenakutkan itu.
"Daniel senang memperlihatkan grafik yang menyatakan bahwa 60 sampai 70 persen persediaan ikan dunia dieksploitasi berlebihan atau habis," ia berkata. "Analisa FAO dan penelitian mandiri yang saya lakukan menghasilkan angka pada kisaran 30 persen." Ia menambahkan bahwa tekanan yang meningkat pada ketersediaan pangan laut seharusnya tidaklah mengejutkan, karena tujuan industri perikanan global adalah
untuk mengeksploitasi seluruh populasi ikan, walau tanpa merusak kelangsungan hidup jangka panjangnya.
Sementara itu, banyak negara berusaha untuk mengimbangi defisit pangan laut dunia yang semakin meningkat dengan melakukan penangkaran atau budi daya predator predator puncak rantai makanan seperti ikan tuna atau salmon, yang dapat membantu menghidupkan ilusi akan keberlimpahan ikan di pasaran. Namun, penangkaran atau budidaya menimbulkan sebuah masalah besar: Hampir semua ikan ini mengkonsumsi pakan yang berasal dari ikan-ikan lebih kecil. Ini merupakan cara lain yang mungkin dapat membuktikan bahwa Lanskap Peredaran Pangan Laut bermanfaat. Jika para peneliti dapat menghitung nilai ekologi dari ikan-ikan liar yang dikonsumsi di
penangkaran ikan, maka mereka akan dapat memperlihatkan dampak nyata yang ditimbulkan budi daya ikan.
Dengan adanya perangkat ini, para pembuat kebijakan diberikan kemudahan untuk menentukan apa dan berapa yang boleh diambil oleh sebuah negara dari laut dan apakah ketentuan itu sudah adil dan cukup. Sebagai sebuah penelitian global, Lanskap Peredaran Pangan Laut membuktikan bahwa negara-negara kaya telah secara
signifikan mengabaikan dampak yang mereka timbulkan. Jika hal ini tidak berubah, kecukupan ikan di pasaran dunia akan berkurang dengan cepat. Memang mereka yang kaya tetap dapat menikmati ikan salmon, tuna, maupun ikan pedang. Tetapi penikmat ikan kelas menengah akan mendapati pilihan-pilihan pangan laut mereka berkurang, atau bahkan tak lagi tersedia.
Lantas apakah manfaat jangka panjang yang didapat dari Lanskap Peredaran Pangan Laut? Dapatkah konsep dan pemikiran serupa mengarahkan pada terbentuknya sebuah perjanjian pelestarian dimana negara-negara diberi jatah global untuk produksi primer laut dan dikenakan denda atau dipaksa untuk mengubah cara mereka melakukan penangkapan ikan jika melebihi ketentuan?
"Akan bagus sekali bukan?" Pauly berkata. Ia menegaskan bahwa kita sudah tahu sejumlah cara untuk mengurangi dampak yang kita timbulkan pada laut: mengurangi 50 persen armada kapal perikanan dunia, menentukan zona terlarang penangkapan ikan yang luas, membatasi penggunaan ikan liar sebagai pakan budi daya ikan.
Sayangnya, industri pangan laut seringkali menjegal upaya reformasi ini.
Lanskap Peredaran Pangan Laut juga dapat memberi konsumen sebuah peta atau kerangka untuk menyiasati kebuntuan upaya reformasi ini – sebuah panduan menuju laut dengan kehidupan yang sehat dan berlimpah. Saat ini terdapat lusinan kampanye ketahanan pangan laut, yang masing-masing menyarankan untuk mengkonsumsi ikan ikan pada tingkatan lebih rendah di rantai makanan laut. Upaya ini mencakup peralihan konsumsi ikan hasil budi daya dari salmon menjadi nila karena saat dalam penangkaran ikan nila mengkonsumsi lebih banyak tumbuhan dan hanya sedikit pakan dari ikan; memilih ikan cod yang ditangkap menggunakan perangkap di dasar
laut daripada ikan kakap Cili, karena dengan cara ini lebih sedikit ikan atau mahkluk laut lainnya yang akan ikut mati dalam proses penangkapannya; dan menghindari konsumsi predator-predator raksasa seperti ikan tuna sirip biru Atlantik secara keseluruhan, karena populasinya yang sudah terlalu rendah untuk dapat ditangkap.
Masalahnya, menurut para ahli konservasi, adalah bahwa kondisi laut sudah mencapai titik kritis. Hanya mengubah pola makan kita saja tidaklah cukup walaupun populasi ikan telah pulih dan meningkat di tahun-tahun mendatang. Apa yang kini diyakini Pauly dan para ahli biologi konservasi lainnya adalah bahwa usulan dan saran harus diubah menjadi keharusan. Alasan mereka, jika perjanjian dapat menciptakan target konsumsi pangan laut untuk setiap negara, penduduknya dapat meminta pertanggungjawaban pemerintahnya untuk memenuhi target tersebut. Strategi-strategi serupa telah memberikan hasil luar biasa pada ekosistem daratan, seperti untuk perdagangan bulu binatang dan gading gajah. Lautan pantas mendapatkan upaya dan perlakuan serupa,
menurut para ahli konservasi ini.
"Saat ini, tak sampai satu persen lautan yang dilindungi, bandingkan dengan wilayah daratan yang 12 persen," Enric Sala menambahkan, "dan hanya sebagian kecil dari satu persen itu yang dilindungi secara penuh." Itulah sebabnya mengapa National Geographic bermitra dengan pemerintah, pelaku bisnis, organisasi pelestarian, dan
penduduk untuk mempromosikan pelestarian laut dan membantu mengurangi dampak dari penangkapan ikan di seluruh dunia.
Pada akhirnya, baik Pauly, Sala, maupun seluruh tim Lanskap Peredaran Pangan Laut, tidak ada yang ingin menghancurkan industri perikanan, menghilangkan budi daya ikan, atau melarang konsumsi ikan. Yang ingin mereka ubah adalah cara industri perikanan beroperasi saat ini. Mereka ingin masyarakat tahu bahwa praktek
penangkapan dan budi daya ikan yang saat ini dilakukan tidaklah mendukung ketahanan pangan laut dan bahwa mereka yang mendukung praktek ini gagal untuk mempertimbangkan konsekuensi dan implikasi ekonomi dan ekologi yang ditimbulkannya. Dengan secara akurat mengukur dampak yang ditimbulkan oleh negara-negara terhadap kondisi laut, Lanskap Peredaran Pangan Laut kemungkinan telah meletakkan landasan yang kuat untuk perubahan yang efektif, memungkinkan terjadinya pemulihan dan peningkatan kembali kekayaan laut yang menyusut. Pauly yakin program seperti ini dapat memberikan negara-negara di dunia kemampuan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, untuk dengan adil berbagi lautan yang berlimpah dan sehat, daripada dengan serakah memperebutkan sisa-sisa tak diinginkan yang tertinggal pasca kehancuran.

Tidak ada komentar: