12.15.2010

Menuju Swasembada Garam 2012

Jakarta | TEKAD dan optimisme Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad bahwa Indonesia akan berswasem-bada garam pada tahun 2012 bukan sesuatu yang mustahil dan bukan tanpa dasar.

Pemerintah menargetkan swasembada garam konsumsi pada 2012 dengan memproduksi garam yodium mencapai 1,16 juta ton, dengan mengoptimalkan lahan yang sudah ada sebanyak 34.000 hektare. Jika tersedia lahan budidaya garam sebanyak 50.000 hektare, maka swasembada garam beryodium dan garam konsumsi dapat tercapai

Sebagai langkah awal menuju swasembada garam tahun 2012 pemerintah akan melakukan revitalisasi peralatan pengolahan garam dengan dana dari yang berasal dari .Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2010 sebanyak Rp 10 miliar.

Menurut Fadel, untuk mewujudkan swasembada garam, paling tidak ada lima isu strategis perlu digerakkan. Pertama, isu kelembagaan akibat lemahnya posisi tawar petambak garam. Kedua, isu infrastruktur dam fasilitas produksi, karena lahan potensial baru setengahnya yang dimanfaatkan untuk memproduksi garam dan di-kelola dengan fasilitas masih tradisional. Ketiga, isu permodalan dan manajemen usaha. Terkait dengan hal ini, harus diakui bahwa pengusaha garam nasional mengalami kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan pembiayaan untuk memperoleh modal usaha.

Isu keempat terkait dengan regulasi, yang menyangkut pengaturan pengadaan garam ber-yodium, penetapan harga awal, dan pengaturan garam impor. Kelima, isu tata niaga, terkait dengan impor garam sering dilakukan pada saat panen raya, dan masih tingginya deviasi harga di tingkat produsen dan konsumen, di samping itu hingga kini masih terjadi penguasaan kartel perdagangan garam di ringkat lokal maupun regional.

Dalam kunjungan kerjanya sekaligus Safari Ramadhan di Indramas, pekan lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad berkesempatan meninjau pengolahan industri garam lokal di Desa Kiajaran Wetan, Kecamatan Losarang, Indramas Jawa Barat.

Indonesia yang punya panjang laut terpanjang kedua di dunia sangat ironis jika kebutuhan garam nasionalnya sebagian besar masih diimpor dari Australia dan India. Sementara kebutuhan garam nasional mencapai 1,5 juta ton per tahun.

Di Desa Kiajaran Wetan tersebut, Fadel Muhammad melihat dari dekat bagaimana seorang petani pengolah garam bernama .Ahmad, berinovasi dalam mengolah garam dengan memanfaatkan Ramsol-produk yang berbentuk serbuk yang mampu memutihkan produk garam olahan dan lebih berkualitas. Produk garam olahan Ahmad ini mampu bersaing di pasaran dan bahkan telah memenuhi kebutuhan garam di Indramayu dan wilayah-wilayah lainnya di Pro\1nsi Jawa Barat.

Saat ini, harga garam berkisar Rp300 hingga Rp350 per kilogram. Belum ekonomis. Fadel mengharapkan harga garam sebaiknya di atas Rp450 per kilogram. "Saya rasa masalah tata niaga garam ini perlu dimatangkan. Saya rasa tidak bisa kalau harga garam dibiarkan mengikuti pasar bebas, kita harus intervensi dan membantu petani garam, harga dilepas begitu saja juga industri kita tidak maju," katanya.

Menyikapi hal itu, menurut Fadel Muhammad, pemerintah akan mengalokasikan sejumlah anggaran di kementeriannyauntuk memberda-akan masyrakat pesisir untuk memproduksi garam rakyat. "Kita butuh investasi agar tidak impor garam lagi dan bisa swasembada pada tahun 2012. Ini soal harga diri bangsa, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia masak kita harus impor garam dari Australia dan India," katanya.

Konsep Minapolitan RpS64,8 Miliar

Untuk minapolitan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menganggarkan dana Rp564,877 miliar pada tahun 2011. Alokasi anggaran untuk minapolitan ikan tangkap Rp364,786 miliar, minapolitan ikan budidaya Rp 141,128 miliar dan pengembangan garam rakyat Rp58,963 miliar.

Pada 2011 KKP merencanakan 41 lokasi minapolitan percontohan, 9 lokasi ikan tangkap yaitu di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Cilacap, Pacitan, Banyuwangi, Ternate, Bangka, Bitung, Medan, dan Amboa

Beberapa lokasi ikan budidaya yaitu di Muaro Jambi (patin), Kampar (patin), Bogor (lele), Banyumas (gurame), Blitar (ikan koi), Gunung Kidul (lele), Morowali (rumput laut), Sumbawa (rumput laut), Sumba Timur (rumput laut), Banjar-Kalimantan Selatan (patin dan nila), Pohu-watu (udang), Boyolali (lele), Klaten (nila), Gresik (udang Vana-mae), Serang (rumput laut dan kekerangan), dan Maros (udang). Yogyo S/ Fauzan Hilal



Sumber : Jurnal Nasional 03 September 2010,hal.10

Tidak ada komentar: