4.28.2010

Agar Ambisi Bisa Terwujud

Jumat, 16 April 2010 | 05:30 WIB

Dalam masa 100 hari pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad tampil dengan kebijakan ambisius menjadikan Indonesia sebagai produsen ikan terbesar di dunia pada tahun 2015, dengan program andalan: Minapolitan.

Keinginan menjadi produsen terbesar dunia itu sama artinya dengan mengalahkan produsen terbesar China yang produksi ikannya saat ini melampaui 46 juta ton per tahun.

Bila tahun 2009 produksi perikanan budidaya di Indonesia 4,78 juta ton, dalam kurun lima tahun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan lompatan produksi budidaya sebesar 353 persen atau 16,89 juta ton pada 2014.



Ada 10 komoditas perikanan yang akan digenjot produksinya, yakni bandeng, patin, nila, lele, udang, mas, gurame, kakap, kerapu, tuna, dan rumput laut.

Program minapolitan merupakan konsep kawasan ekonomi berbasis komoditas unggulan. Setiap kawasan terdiri atas sentra produksi terintegrasi dengan fasilitas pengolahan ikan, pemasaran, serta jasa layanan kesehatan dan sosial.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 41/2009, ditetapkan 41 lokasi percontohan pengembangan kawasan minapolitan.

Dari pagu definitif anggaran KKP dalam APBN 2010 sebesar Rp 3,1 triliun, telah diusulkan penambahan anggaran dalam APBN Perubahan tahun 2010 sebanyak Rp 1,6 triliun. Sekitar Rp 700 miliar di antaranya untuk perikanan budidaya.

Selain itu, diusulkan realokasi anggaran dari direktorat jenderal (ditjen) lainnya di KKP sebesar Rp 184,4 miliar untuk menambah anggaran pada Ditjen Perikanan Budidaya KKP.

Pembentukan kawasan minapolitan itu juga disinergikan dengan program Kementerian Pekerjaan Umum yang tahun ini mengalokasikan anggaran Rp 1,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur sektor perikanan dan kelautan.

Meski potensinya besar, sektor kelautan dan perikanan identik dengan kemiskinan dan ketertinggalan serta padat tenaga kerja.

Saat ini, Indonesia tercatat memiliki 2.775.794 nelayan, lebih dari separuhnya atau 1.466.666 orang berstatus kerja tidak tetap. Sementara tenaga kerja di sektor budidaya ikan ada 2.916.000 orang.

Sebaliknya, penyerapan tenaga kerja di sektor hilir masih minim. Dari total 767 unit industri pengolahan ikan skala menengah dan besar di Indonesia, jumlah tenaga kerja yang terserap sekitar 179.000 orang.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad mengatakan, pihaknya berencana menyediakan 150.000 paket perikanan untuk pembudidaya pemula berupa sarana produksi, seperti benih, pakan, dan terpal. Nilai paket bervariasi, di antaranya paket budidaya nila senilai Rp 15 juta, lele Rp 7,5 juta, rumput laut Rp 6 juta, dan patin Rp 15 juta per paket.

”Paket perikanan merupakan stimulus untuk mendorong budidaya perikanan. Setelah usaha berjalan, pembudidaya bisa mengajukan Kredit Usaha Rakyat ke perbankan,” ujar Fadel.

Namun, ambisi meningkatkan produksi sebesar 353 persen, apalagi menjadi produsen terbesar dunia dalam lima tahun, menuai keraguan sejumlah kalangan. Dalam satu dasawarsa terakhir, upaya membangun sektor perikanan selalu tersandung masalah serupa, mulai dari permodalan, infrastruktur, akses pasar, hingga pengolahan ikan.

Tidak mudah

Pengembangan kawasan ekonomi berbasis komoditas unggulan minapolitan bukanlah konsep baru. Tahun 2002, pemerintah membuat program pengembangan kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan.

Nyatanya, program agropolitan di sejumlah wilayah mengalami sejumlah kendala, seperti sosialisasi, kebingungan penetapan sektor unggulan di wilayah, infrastruktur yang tak memadai, pendanaan, hingga kelembagaan. Masalah klasik: dukungan pemerintah daerah bagaikan ”duri dalam daging” yang menghambat pelaksanaan program nasional.

Kekhawatiran pun muncul, program minapolitan dapat bernasib serupa dan berakhir sebagai wacana politik bahari yang dengan mudah berubah seiring pergantian rezim pemerintahan.

Sarana air bersih dan ketersediaan listrik di sentra-sentra perikanan, misalnya, hingga kini masih menjadi barang mewah. Sebagian besar pembudidaya ikan bergantung pada generator listrik yang biayanya dua kali lipat lebih mahal ketimbang listrik PLN karena listrik tak menjangkau kawasan produksi.

Ketua Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto mengemukakan, akibat mahalnya biaya diesel, harga jual udang vaname tambak intensif menjadi lebih mahal Rp 3.000 per kilogram daripada bila memakai listrik PLN.

Distribusi benih ikan dan bibit rumput laut yang belum merata juga mendongkrak biaya produksi. Di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, misalnya, harga benih bandeng dari Jawa Timur mencapai Rp 40 per ekor, jauh lebih mahal dari harga rata-rata di Jawa yang Rp 20 per ekor.

Padahal, Pesisir Selatan diarahkan menjadi kawasan minapolitan dengan komoditas unggulan bandeng untuk umpan ikan tuna, mengingat kawasan Sumbar merupakan salah satu produsen tuna segar ekspor.

Di tingkat hilir, belum ada upaya signifikan mengembangkan industri pengolahan ikan untuk meningkatkan nilai tambah produk. Kapasitas produksi industri pengolahan saat ini baru 60 persen dari kapasitas terpasang.

Produksi ikan yang berlimpah pada musim tangkap kerap tidak tertampung dalam gudang pabrik sehingga harga jatuh. Sebaliknya pada masa paceklik, sejumlah pabrik kekurangan bahan baku.

Berproses

Pertanyaannya, sejauh mana persiapan mewujudkan kawasan minapolitan?

Dalam Rapat Kerja KKP dengan Komisi IV DPR tanggal 15 April 2010, anggota Dewan menyetujui realokasi anggaran di ditjen-ditjen KKP untuk dialihkan ke budidaya.

Dukungan DPR tersebut seharusnya akan mempercepat program percepatan produksi perikanan dan memenuhi ambisi menjadi produsen ikan terbesar melalui program minapolitan.

Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria berpendapat, KKP tetap perlu belajar dari kegagalan masa lalu ketika kebijakan pemerintah belum diterjemahkan detail di tingkat teknis.

Program minapolitan adalah kerja besar yang tidak hanya membutuhkan kerja sama lintas kementerian, tetapi juga relasi dengan parlemen, pemerintah daerah, hingga masyarakat lokal sebagai ujung tombak pelaksana.

Untuk itu, pemerintah perlu membuat alternatif strategi peningkatan produksi dengan mengupayakan dukungan permodalan dari perbankan dan lembaga keuangan, misalnya meminta komitmen perbankan untuk pendanaan kewirausahaan mandiri perikanan.

”Diperlukan koordinasi dari Presiden untuk terjun langsung mendukung program perikanan yang merupakan pilar ketahanan pangan masa depan,” ujar Arif.

Upaya lain, mengintegrasikan dana internasional ke dalam desain program minapolitan, di antaranya dana dari negara penggagas terumbu karang (CTI) dan Coremap. Dalam program internasional itu selalu ada alokasi pemberdayaan masyarakat.

Pencapaian peningkatan produksi 353 persen membutuhkan kerja luar biasa dan dukungan berbagai kalangan. Bangsa yang dua pertiga wilayahnya merupakan lautan seharusnya berjaya dalam produksi dan masyarakat nelayannya pun sejahtera.

Tidak ada komentar: