4.28.2010

Minapolitan dan Minapolitik

Jakarta (ANTARA News) – Gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) cukup mengejutkan. Produksi perikanan sebesar 8 juta ton pada 2009 akan dipacu 353 persen pada 2014 melalui strategi minapolitan.

Minapolitan adalah strategi pembangunan perikanan berbasis kawasan, yakni Ibarat sebuah mobil, menteri KP saat ini sedang menancap gas. Model tancap gas seperti ini perlu diapresiasi sebagai kesungguhan untuk membangun sektor KP.

Optimisme ini perlu dijaga karena sektor KP ini masih terus dianggap kecil dan kurang strategis. Secara politik juga kurang diperhitungkan. Strategi ini memang mirip dengan strategi para menteri sebelumnya.



Pada era Habibie, ada Gerakan Protekan. Pada era Megawati ada Gerbang Mina Bahari. Dan, era periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada Revitalisasi Perikanan.

Apakah Minapolitan akan bernasib sama dengan gerakan-gerakan sebelumnya yang belum sesuai harapan? Lalu, apa yang perlu dicermati dari strategi minapolitan tersebut?

Dalam mencermati fenomena ini, penting untuk memahami peta aliran pemikiran yang kini mempengaruhi gerakan perikanan. Peta aliran tersebut sudah dikenal dalam kajian ekologi-politik dan secara riil memang ada kelompok pengikutnya. Masing-masing aliran akan merespons minapolitan secara berbeda.

Pertama, aliran dengan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation) yang tentu akan mempertanyakan apakah gerakan minapolitan akan merusak sumberdaya atau tidak.

Bila menteri KP menekankan budidaya sebagai andalan dalam minapolitan, kalangan dalam pendekatan ini akan mewaspadai terjadinya kerusakan sumberdaya mengingat sumber pakan selama ini berasal dari ikan.

Dengan mendongkrak produksi budidaya berarti kebutuhan pakan akan meningkat, akibatnya kegiatan penangkapan ikan akan meningkat pula. Padahal upaya pemerintah menekankan budidaya tidak lain karena kondisi sumberdaya ikan sudah semakin menurun dan kegiatan perikanan tangkap sudah sulit diandalkan lagi.

Apa artinya ada pengendalian penangkapan bila ternyata pada akhirnya penangkapan akan marak lagi untuk memenuhi kebutuhan pakan. Karena itu kalangan ini sangat anti terhadap budidaya ikan kerapu yang pakannya bersumber dari alam.

Selain itu kalangan ini akan kritis terhadap pengembangan tambak yang mengkonversi mangrove. Hal ini karena mangrove dianggap sebagai tempat penting baik untuk pemijahan ikan, tempat hidupnya beberapa spesies penting, dan secara ekologis penting dalam melindungi daratan dari gelombang pasang, tsunami, ataupun intrusi air laut.

Karena itulah gagasan kelompok ini adalah pentingnya sertifikasi atau eko-labeling usaha budidaya untuk meyakinkan pasar bahwa usaha tersebut tidak merusak lingkungan, seperti munculnya best aquacultur practice (BAP) dan sejumlah bentuk sertifikasi lainnya.

Kedua, aliran dengan pendekatan eko-populisme (eco-populism) yang akan mempertanyakan apakah gerakan minapolitan akan membawa keadilan dan kesejahteraan masyarakat atau tidak.

Bila budidaya yang akan digenjot, maka isu yang muncul adalah siapa yang akan dijadikan aktor terpenting: apakah pengusaha besar atau rakyat? Pengalaman berkembangnya usaha tambak skala besar yang merusak lingkungan serta menempatkan rakyat hanya menjadi buruh industri tambak tentu masih menjadi ingatan penting.

Seperti kalangan konservasi, maka kalangan ini juga akan kritis terhadap berkembangnya tambak skala besar namun dengan argumentasi yang berbeda.

Selain itu, tumbuhnya usaha budidaya secara masif akan dilihat sebagai upaya yang hanya menguntungkan industri pakan yang kebanyakan masih berafiliasi pada perusahaan multinasional. Kondisi ini akan makin menciptakan ketergantungan pada perusahaan-perusahaan besar, yang pada akhirnya merekalah yang akan mengendalikan harga pakan.

Dengan kondisi seperti ini, maka pembudidaya ikan skala kecil akan terus dikendalikan oleh pasar. Karena itulah, ide kelompok ini adalah bagaimana membangun kedaulatan para pembudidaya ikan yang berarti mampu menentukan usahanya sendiri tanpa harus terlalu tergantung pada industri pakan atau pengusaha inti. Diyakini bahwa kedaulatan ini akan membawa kepada kesejahteraan.

Ketiga, aliran dengan pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan (eco-developmentalism). Ini merupakan tipe pendekatan jalan tengah. Pendekatan modernisasi ekologi ini merupakan turunan dari pendekatan Malthusian yang menganggap persoalan ekologis adalah faktor ledakan penduduk.

Ide pokonya pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan bisa disinergikan, dan penemuan teknologi ramah lingkungan atau instrumen-instrumen yang dianggap “menjamin” kelestarian lingkungan menjadi strateginya.

Dalam konteks minapolitan, maka tumbuhnya pertambakan skala besar dianggap sebagai suatu yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi karena dapat membuka lapangan kerja baru serta mendorong ekspor nasional.

Namun kelompok ini mencatat pentingnya instrumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk menjamin bahwa usaha budidaya tersebut tidak berdampak serius terhadap lingkungan. Gagasan kelompok ini adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Melihat adanya ragam aliran pembangunan perikanan itu, minapolitan bukan persoalan teknis (management) bagaimana menggenjot produksi dan pasar, tetapi ternyata merupakan persoalan tata-kelola (governance).

Artinya, secara obyektif ada ragam aliran pemikiran atau pendekatan dan kepentingan para pihak yang mesti diakui dan didialogkan. Belum lagi bila kita memasukkan variabel pemerintah daerah, akademisi, LSM, dan anggota DPR atau politisi yang tersebar ke dalam ragam aliran yang berbeda itu.

Setiap kelompok akan berusaha mempengaruhi kebijakan agar alirannya lah yang diterima. Banyak LSM yang sengaja memasang para pelobi di pemerintahan demi memperjuangkan kepentingannya.

Dari berbagai aliran pemikiran tersebut, pemerintah umumnya cenderung pada aliran ketiga, namun mestinya tetap mengakui adanya ruang politik bagi keberadaan aliran pertama dan kedua sebagai rem.

Mengabaikan dua aliran tersebut sama saja dengan terus tancap gas tanpa rem, dan akibatnya sudah dapat diduga apa yang akan terjadi. Karena itu minapolitan harus dilihat pula secara politik (baca:mina-politik).

Dengan demikian, sudah saatnya pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas kepada publik sehingga produk kebijakan yang pada akhirnya diambil merupakan resultante dari berbagai kepentingan dan ragam pemikiran.

Namun demikian, hal penting lainnya “mina-politik” tentang minapolitan tidak saja berdimensi internal, tetapi juga eksternal. Artinya persoalan minapolitan juga sangat ditentukan oleh sejauh mana dukungan sektor-sektor lain serta sistem penganggaran di DPR.

Kementerian Pekerjaan Umum (PU) cukup menentukan dalam penyediaan infrastruktur. Kementrian Keuangan juga penting dalam regulasi perpajakan. Saat ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan diberlakukan untuk produk ikan. Jelas, bahwa nelayan dan pembudidaya ikan akan sangat terpukul.

Dengan demikian, minapolitan akan terancam bila kebijakan perpajakan ini tidak diubah. Begitu pula penganggaran di DPR juga krusial. Dengan penganggaran yang dikaitkan dengan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) jelas akan menjerat sektor KP ke dalam dilema baru: menggenjot pungutan yang tentu kontraproduktif dengan investasi, atau anggaran yang diturunkan karena tak sanggup memenuhi target PNBP yang ditetapkan DPR.

Nah, dis inilah Menteri KP mendapat tantangan yang tidak kecil. Belum lagi relasi dengan pemerintah daerah yang merupakan ujung tombak pembangunan. Karena itulah, Menteri perlu belajar dari pengalaman masa lalu dan mengemas strategi barunya dengan mempertimbangkan sejumlah variabel politik dan ragam aliran pemikiran gerakan perikanan selama ini. (***)

Arif Satriya, Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB

Tidak ada komentar: